URGENSI KESADARAN MEMILIKI ASET BAGI MASYARAKAT PEDESAAN


Masyarakat desa merupakan tipe masyarakat yang tidak begitu mementingkan adanya kontinyuitas aset, lebih-lebih masyarakat desa pesisir. Dibandingkan dengan masyarakat desa nelayan, masyarakat desa petani yang hidup secara agraris sedikit sadar akan perlunya aset atau bentuk harta yang bisa diwariskan untuk anak cucunya nanti.

Oke, saya tidak akan panjang lebar membahas tentang karakteristik sosiologis kedua kelompok masyarakat diatas. Saya akan mebahas secara umum—atau sedikit mengulas pola pikir masyrakat saat ini terutama yang saya alami sebagai bagian dari masyrakat yang hidup dari keluarga petani. Mungkin satu dua bagian akan berbeda dengan daerah lain.

Seiring dengan tren arus urbanisasi yaitu bergeraknya masyrakat desa untuk pindah ke kota. Entah alasan berpindahnya itu karena ingin mengubah kondisi ekonomi atau yang lainnya. Namun patut diperhitungkan juga bahwa di abad 21 ini, terdapat tren arus baru yaitu bergeraknya kaum urban yang merambah ke desa. Jadi, kalu dulu orang-orang desa pindah ke kota, beberapa dari mereka akan pulang dan membawa kultur baru ke masyrakat desa yang didapatkan dari kultur perkotaan. Kemungkinan kedua yaitu bergeraknya cakupan kaum pemodal untuk memanfaatkan sumerdaya alam ke pelosok-pelosok desa, karena semakin sengit persaingan atau harga yang lebih terjangkau.

Perubahan sosio-kultur masyarakat yang terdampak pergerakan kaum urban diatas ada hal positif jika dan hanya jika gerusan ide-ide kapitalistik tidak dicekoki ke ke kepala mereka. Terkadang orang desa yang dulunya ke kota untuk bekerja (apapun itu) dan kembali lagi ke desanya akan mebawa gaya hidup baru dari kota yang coba dipamerkan kepad atetangganya. Belum lagi iklan-iklan tayangan televisi yang menggiurkan, membuat masyrakat desa sulit mempertahan kearifan-kearifan lalu ikut menjadi pribadi yang konsumeris. Dari tren pakaian, rumah, hingga kendaraan. Bahkan saat ini saya akan mudah menemukan mobil pribadi di halaman-halaman rumah tetangga.

Darimana uang yang didapatkan mereka (masyarakat desa) untuk mebeli barang-barang tersier? Kebanyakan dari mereka menjual tanah, entah itu ladang, sawah, hingga rumah. Satu hal yang perlu diketahui, mereka mebeli mobil misalnya, bukan untuk menunjang produktivitas kerja, tetapi hanya untuk sekedar punya. Lha piye kerjanya masih cari rumput atau kuli bangunan tapi punya Innova, pasti bukan untuk ke kantor. Setidaknya beli mobil bisa digunakan untuk berdagang dan sebagainya.

Lalu setelah itu apa? Ladang dan sawah terjual tapi tidak punya keahlian apapun. Sedangkan populasi setiap tahun semakin meningkat.

Hamparan sawah yang dulunya bisa menjadi tempat panen padi sekarang sudah ditimbun pondasi beton dan berdiri rumah-rumah. Ada juga mereka menjual tanah-tanah mereka untuk modal mengadu nasib di kota lain, pualau lain, bahkan negeri lain. Dan belum tentu nantinya dapat membeli tanah dengan luasan yang sama. Dan ini kasus dari orang yang masih ada tautan famili dengan saya, menjual petakan ladang dan sawah untuk biaya kuliah anaknya, sekarang anaknya menjadi guru di Madrasah Ibtida’iyah (MI) swasta bagian dari Yayasan di Desa. Tak ada yang salah, namun kurang arif saja menyikapi aset harta berupa tanah yang tiap tahun harganya terus naik.


Padahal, seharusnya masyarakat desa sadar atau seharusnya ada yang menyadarkan. Bahwa tanah tidak hanya tentang harta, ia juga mempunyai aspek historis, religius, dan kejiwaan. Dan saya kira orang-orang yang mempunyai aset berupa tanah, kehidupan dan kondisi ekonominya akan lebih stabil dan bisa survive dibanding mereka yang tidak punya aset tanah. []

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lirik Lagu 17 April PMII

INILAH AKIBAT JOMBLO TERLALU LAMA DI KAMPUS