Ayo Kembali Baca Buku! Kurangi Baca Medsos


Sebelum manusia mengenal teknologi pembuatan kertas dan mesin cetak, peradaban belum terlacak dengan jelas. Konon, mesin cetak ditemukan oleh Gutenberg yang menjadi awal revolusi peradaban manusia. Nah, apa korelasi buku dan peradaban manusia? Untuk menjawabnya saya mengajak pembaca untuk membayangkan seandainya belajar disekolah tanpa media belajar dan tulisan beserta buku-buku, mampukah kegiatan belajar berjalan dengan baik. Tentu saja saya sendiri kesulitan untuk membayangkannya, kecuali belajar model pendidikan alam yang menekankan pengalaman hidup untuk bisa survive di alam. Pembelajaran model ini lebih menarik dan sangat bermanfaat bagi setiap individu manusia, namun dalam tulisan ini saya tidak ingin mebahasnya begitu jauh. Fokus saya pada peran buku bagi vitamin otak secara batin.
Bagi orang yang suka baca buku, membaca adalah kegiatan yang menyenangkan dan membuat ketagihan. Namun, bagi orang yang kurang suka, membaca adalah kegiatan membuang waktu, menunda pekerjaan, bahkan tidak berimplikasi pada kehidupan secara langsung. Gejala tidak suka baca buku saat ini sudah menjadi penyakit yang lumrah bagi mahasiswa. Penyakit ini menjangkiti mahasiswa karena gaya hidup yang sudah berubah. Ketika melihat orang membaca buku di gazebo atau sambil jalan di pedestrian kampus, seaakan-akan orang tersebut adalah orang asing yang kurang gaul dan sok kutu buku. Saya sendiri kurang begitu paham kenapa mindset seperti ini bisa menjankiti kaum intelektual saat ini. Miris memang, ya bisa dibilang begitu.
Tapi disisi lain kemalasan membaca mendatangkan rezeki dilain pihak. Diantaranya adalah rezeki bagi bagi penyedia tulisan di web-web kelas teri atau akun-akun media sosial yang aktif menulis dan menarik bagi pembaca yang kurang minat baca. Disitu bisa terlihat kualitas penulis dan pembaca melalui komentar dan kegiatan "share-iyah" yang sebagai komoditas yang menjanjikan, daripada jadi pengangguran yang cuma makan tidur. Ini sebuah fenomena lapangan yang tidak bisa dipungkiri, bagaimana kaum “yang katatanya” intelektual menyukai, membenarkan, dan membagikan tulisan-tulisan “Jonru” dan “Piyungan”. Bukan berarti saya sinis teerhadap tulisan kedua seleb media sosial (medsos) tersebut, namun dalam kaidah penulisan, jurnalistik, maupun kaidah nalar sehat pun, kedua medsos diatas sangat jauh dari kata layak untuk mempunyai penggemar. Kenapa? Karena isi tulisan yang ajauh dari kata berimbang, berisi kata-kata kebencian bahkan tak jarang ungkapan adu domba, dan kredibilitas penulis media tersebut juga patut dipertanyakan dari segala sisi. Sehingga konstituen penggemar kedua seleb medsos tersebut juga patut untuk dipertanyakan kegiatan literasinya.
Berdasarkan fenomena munculnya kehebohan publik karena tulisan-tulisan di medsos. Saya tidak heran karena kualitas literasi bangsa Indonesia adalah yang terburuk di dunia, memperoleh predikat nomor sekian dari bawah. Sehingga tanpa analisis dan pencarian sumber yang lebih dalam masyarakat mudah sekali terpropaganda. Menurut saya, ini suatu musibah bagi bangsa. Masyarakat Indonesia tidak terbiasa untuk tasawur (mengecek) sebelum tashdiq (membenarkan). Oleh karena itu saya menghimbau kepada seluruh generasi pemikul estafet cita-cita kemerdekaan, mari kita sama-sama tumbuhkan budaya literasi. Berbagai buku akan memperkaya pengetahuan. Berbagai sumber akan mmperkaya wawasan. Sehingga penjajahan mental bisa kita tekan secara bertahap. Bodoh adalah ia yang merasa pintar, sedangkan orang bodoh adalah ia yang sudah berhenti untuk belajar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lirik Lagu 17 April PMII

INILAH AKIBAT JOMBLO TERLALU LAMA DI KAMPUS